Laman

Sabtu, 11 Februari 2017

Jakarta Menghilang 2

***
Hari berjalan begitu cepat, tak terasa pertiwi mulai renta. Lihatlah di atas sana tuan atmosfer sedang menangis akibat luka yang begitu lebar. Sakit. Itu pasti. Lihatlah kelakuan manusia sekarang. Tak ada yang menyenangkan. Satu lagi hal yang bisa kalian lihat. Lihatlah kenangan dari Papua. Lihatlah terkelupas di sana dan di sini. Manusia mulai rakus. Telinga Jawa, kini dipenuhi lubang luka yang dalam menembus gendang telinganya.
"Jawa lihatlah, para manusia kini memotong rambutku. Aku yang dulunya cantik bak bidadari. Ratu rambut sejagat. Kini rambutku gundul. Jawa, sepertinya aku tak.bisa menerima semua ini. Aku tidak rela. Mahkotaku, rambut lebatku dipangkas habis" Kalimantan menangis sejadinya, dia memperlihatkan hutan gundulnya. Mahkotanya yang paling berharga.
Di peluk nya Kalimantan dengan Jawa. Peluk kehangatan dan penuh kasih sayang "Sudah lah Tan, jangan menangis. Jika kamu menangis, maka tubuhmu akan basah. Ingat bhawa sekarang kamu tidak punya rambut. Maka tak akan ada yang menyerap air matamu itu. Jika kau lanjutkan ma manusia akan ketakutan".
"Biarkan saja Jawa. Biar mereka tahu bagaimana rasanya tersakiti." Sumpah serapah itu datang dari mulut Kalimantan. Yang sejak tadi membasahi tubuhnya.
"Jangan begitu, jangan kau balas ke jahatan dengan kejahatan. Ingatlah Tan, kamu tak berhak menyakiti siapapun yang pernah menyakitimu. Karena mereka adalah milik Tuhan yang juga kau sayangi."
Lihatlah Jawa dan Kalimantan kini mengeluarkan air mata bersama. Hidup seperti mereka sangatlah sulit. Menjaga dan mencoba melindungi manusia. Menuruti perintah Tuhan.
***
Malam ini sungguh mengerikan. Manusia kembali berulah. Kini tidak hanya satu batang besi yang di tusukkan. Tapi berpuluh besi itu menghujam penuh dengki. Tak tahu bahwa ada rasa sakit yang dirasakan bumi yang mereka pijak.
Malam ini langit murka, tak ada hiasan yang menggantung. Bukan hanya langit yang murka, tapi ada teknologi yang juga ikut marah.
Tuhan menjawab doa Jawa. Sekian lama.ia merasa kesakitan. Pada malam ini juga dia tahu. Bahwa hidup adalah tentang berpasrah dan berbuat baik serta menjalankan skenarionya. Ada yang tiba-tiba menghilang dari tubuh Jawa. Dia hilang jauh entah kemana. Dia adalah Jakarta. Jakarta menghilang.
"Jakarta menghilang !!!!" Manusia kini heboh. Tak ada saluran televisi nasional yang menyiarkannya. Hanya beberapa televisi daerah yang menyiarkan dengan signal yang pas pasan. Karena semua stasiun televisi berpusat di telinga Jawa.
"Maafkan aku manusia, aku sudah tidak sanggup menderita.dan ketahuilah bukan aku yang membuang Jakarta. Tapi Tuhan yang telah mempermudah urusanku. Dan Tuhan menyelamatkan kalian dari kerakusan. Jadikan ini sebagai pembelajarn untuk kalian. Agar tidak menyakiti pertiwi." Suara itu hadir dengan nada penuh sesak. Manusia pertiwi hanya ternganga mendengar nasihat itu. Terlebih para manusia yang biasanya hilir mudik ke Jakarta. Kini di pagi hari saat mereka hendak kerja, jalan penghubung Jakarta telah kandas. Menyisakan ombak pantai yang lembut. Menyisakan lubang dengan luka yang indah. Penerimaan atas segala kejahatan.
Lihatlah di sana ada pulau kecil terdampar hampir dekat dengan antartika warnya gelap. Di sepanjang hari tak ada hal yang bisa di lakukan di kota metropolitan secanggih itu. Bagaimana bisa melakukan kegiatan, sedang segala sesuatunya membutuhkan energi listrik. Sudah satu minggu listrik padam, entah apa penyebabnya. Bahan bakar sudah habis untuk mencukupi cadangan listrik.
Awalnya kota ini adalah kota yang indah dan penuh dengan bangunan megah. Sekarang pun masih demikian. Hanya saja yang membedakan ada di perbatasannya. Perbatasan itu, kini berubah menjadi garis pantai. Jakarta menjauh, menjadi pulau sendiri. Ini terjadi dua minggu yang lalu, saat bumi meraung kesakitan.
Jakarta menjauh, Jakarta hilang. Karena ulah mausia rakus.

5 komentar: