Laman

Jumat, 10 Februari 2017

Jakarta menghilang

Malam ini langit murka, tak ada hiasan yang menggantung. Bukan hanya langit yang murka, tapi ada teknologi yang juga ikut marah. Di sepanjang hari tak ada hal yang bisa di lakukan di kota metropolitan secanggih ini. Bagaimana bisa melakukan kegiatan, sedang segala sesuatunya membutuhkan energi listrik. Sudah satu minggu listrik padam, entah apa penyebabnya. Bahan bakar sudah habis untuk mencukupi cadangan listrik.
Awalnya kota ini adalah kota yang indah dan penuh dengan bangunan megah. Sekarang pun masih demikian. Hanya saja yang membedakan ada di perbatasannya. Perbatasan itu, kini berubah menjadi garis pantai. Jakarta menjauh, menjadi pulau sendiri. Ini terjadi dua minggu yang lalu, saat bumi meraung kesakitan.
***
"Rasanya aku sudah tidak sanggup lagi menahan beban manusia ini" Jawa mengeluh sepanjang pagi bersama dengan sumatra yang selalu mendampinginya. Maklum saja Jawa dan sumatra adalah saudara yang telah terpisah akibat bencana krakatau.
"Tapi kamu harus tetap bersabar Wa" dan setiap pagi kalimat itu seperti menjadi obat, karena Sumatra terus saja mengatakannya. Obat yang terkadang manjur untuk mencegah Jawa melakukan tindakan bodohnya.
"Kamu tidak merasakannya Sum. Aduuuuh... ini sakit sekali" Jawa kembali meneteskan air matanya. Menahan hujaman besi yang menusuk dalam telinganya.
"Bertahanlah, semoga ini yang terakhir Wa" Sumatra meniupkan air laut ke telinga Jawa. Setidaknya mungkin itu akan membantu penyembuhan lukanya.
***
Dulu sebelum semua berkembang di telinga Jawa, mereka: para manusia menghiasi perut Jawa,  tapi mereka tak sekejam ini. Mereka merawat, menjaga bahkan melindunginya dengan segenap jiwa. Manusia itu sangat mencintai Jawa. Bukti cinta itu ada dalam tubuh Jawa, para manusia yang melindungi jawa bahkan rela meninggalkan tubuhnya di dalam darah Jawa, mereka mengalir. Mengabdikan jasadnya untuk Jawa. Hingga tinggal beberapa gelintir manusia yang membuat keluarga pertiwi bangkit bersama.
"Merdeka.. merdeka!!" Seribu keluarga pertiwi bangkit menyerukan kemerdekaannya. Sang Pertiwi kembali bangkit. Jawa sebagai salah satu anak kesayangan pertiwi, telah di nobatkan sebagai Raja. Segala tahta telah di berikan pada Jawa. Karena dialah yang paling bijaksana diantara seribu kelaurganya, dialah yang paling banyak bertumpah darah diantara seribu keluarga lainnya.
Setelah perut Jawa sudah terhias begitu sempurna, pun begitu dengan anggota tubuh lainnya. Kini zaman telah berubah, segalanya tertinggal jauh.
Si sulung papua, memiliki potensi yang menakjubkan, dia menghasilkan sesuatu yang indah gemerlap. Kemerlipnya menyilaukan mata, bukan berlian. Tapi itu adalah emas. Kekayaan pertiwi.
Papua dan Jawa memiliki selisih usia yang jauh. Mereka tak begitu dekat, namun Papua adalah si sulung yang penyayang. Namun dibalik sikap penyayangnya itu, juga terbesit sikap egoisnya. Begitulah sulung, dia masih belum bisa stabil. Masih suka mencari jati dirinya.
Sore itu, saat senja jatuh di kaki cakrawala, sulung Papua memberikan bingkisan indah pada Jawa.
"Bukalah kak, aku membuatnya khusus untukmu kutambahkan beberapa berlian dan mutiara laut, indah jika kau pasang di telingamu" tanpa berpikir panjang tangan Papua segera melekatkan Anting itu di telinga Jawa.
"CANTIK" semua berseru kegirangan. Keluarga pertiwi kembali berpesta.
"Itu adalah anting monalisa. Di tempatku ada manusia kecil, namanya monalisa. Dan aku sangat menyukai perangai baiknya. Dia menjagaku, mencintaiku bahkan memelihara sumber daya alamku. Kegemarannya ada pada buah nanas. Maka untuk emas itu kiberi nama Monas (Monalisa Nanas), hahaha" keluarga prtiwi berguncang, canda tawa menghiasi atmosfer rumah mereka. Indonesia.
Tak terasa hari mulai petang, pemandangan indah akan segera hadir, para bintang mulai menampakkan kerlipnya. Seluruh keluarga pertiwi kini sedang asyik menikmati kemegahan malam. Hingga mereka tertidur pulas, seluruh manusia yang hidup di tubuh mereka pun, segera mematikan lampu dan menutup rapat mata.
hari berlalu begitu cepat, manusia semakin cerdas. Pemimpin manusia sedang menjalankan program beasiswa Jerman, seluruh peserta didik diminta untuk mencuri ilmu di negeri itu. Konon katanya, Jerman memang sangat pandai dalam hal teknologi. Bagaimana dengan pertiwi? Ah pertiwi adalah negara yang baru saja merdeka kemarin. Tapi jangan meremehkan pertiwi. Pertiwi memang punya banyak anak dan cucu, tapi sekalinya keluarga itu bersatu, maka tak akan ada yang berani menghancurkannya.
Apa kubilang, kemajuan teknologi maju begitu cepat, mengalahkan pertumbuhan pertiwi. Awalnya Jawa senang meskipun ia harus merelakan bagian tubuhnya terhujam besi-besi. Demi melihat hasil gedung-gedung indah menjulang tinggi. Dia senang karena bisa berkorban untuk manusia agar selalu bahagia.
Kemajuan teknologi itu hampir merubah banyak pulau, salah satunya adalah papua yang kini telah banyak di ambil sumber dayanya oleh negara lain.
Sore itu saat langit biru berubah menjadi merah, senja yang indah. Lihatlah di sana banyak manusia sedang asyik bermain di pantai. Jawa mendekati Papua.
"Papua hati-hati ya. Jangan sampai termakan janji dan bualan orang-orang asing. Ingat bahwa kita adalah satu keluarga pertiwi" Jawa menasihati Papua, mengelus lembut dengan ombak pantai.
"Tenang saja kak Jawa, Papua suka dengan mereka. Lihatlah lihatlah tanganku, lihatlah mahkota terbaru untukku. Dan lihatlah rakyatku kak" Papua memperlihatkan tangannya yang penuh dengan perhiasan emas dan kepalanya yang telah berhiaskan emas.
"Baiklah dik, kakak hanya ingin kau dibanggakan oleh manusia pertiwi kita" Jawa menjelaskan dengan lembut.
"Iya, kak. Aku juga melihatmu, hadiah yang kuberikan padamu sekarang telah menjadi monumen dan banyak manusia pertiwi yang membanggakan nya bukan?"
"Ah, iya dik, mereka menyukai hasil sumber alammu"
Senja itu habis dimakan gelap. Sekarang pertiwi tak lagi gelap. Bahkan gemintang pun tak mampu terlihat. Di sini telah maju teknologinya. Maka bintang berganti dengan lampu gedung yang kemerlipnya lebih indah. Tapi lihatlah tuan atmosfer di atas sana, dia seperti kesakitan. Pertiwi tak mampu berbuat apapun.
***
Saat ini terlihat pertiwi mulai renta. usia nya telah berbilang 500 tahun. Lihatlah papua, kini dia menjadi anak pertiwi terkaya. Tapi lihatlah di sana segerombolan masa merobek labang pertiwi. Mereka lupa, Atau mereka berkhianat. Ah, mungkin saja mereka sedang khilaf atau tertidur pulas lalu mengigau.
Tentu saja tidak begitu urusannya, papu masih segar, bukan sedang tidur. Tapi lihatlah. Dia hanya diam menanggapi permintaan manusia yang tinggal di atasnya.
"Papua, bagaimana bisa kau hanya diam, tanpa menasihati mereka. Bahaya jadinya jika mereka selalu mengusikmu begitu. Mereka akan pergi menjauh dari pertiwi" Jawa mencemaskan adik sulungnya.
"Entahlah kak, tapi manusia di tempatmu tak pernah sedikitpun menghargaiku, pun begitu dengan yang lain. Apa karena aku adalah si sulung yang tak pandai berjuang. Maka kalian mencampakkan aku." Sekarang papua mengangkat bahu dan tersenyum licik.
"Sadarlah Papua" Sulwesi kini tak lagi diam, melihat tingkah sombong adik sulungnya. Telunjuknya kini tepat di depan mata Papua.
"Sudah hentikan, jangan membuat kesalahan dengan perkelahian. Ingat bagaimana dulu manusia kita saling berjuang menyatukan kita. Bahakan lihatlah dRah mereka masih segar, menyatu di tanah kalian masinga-masing. Lihatlah bagaimana setiap manusia pasti pernah punya khilaf. Dan lihatlah diriku saat ini. Bahkan aku meraung kesakitan. Tapi aku masih kuat bertahan menyatukan pertiwi" Jawa kini menangis sejadinya. Air matanya tumpah. Dan ini membuat manusia heran. Karena hujan total di seluruh pulau Jawa.
Bukan hujan itu yang menjadi permasalahan. Lihatlah ada apa di telinga Jawa, terlihat menjijikkan sekali. Banyak air kotor mengalir, ciumlah baunya. Itu sangat menjijikkan.
"Apa kamu sakit?" Sumatra bertanya pada Jawa memegang jidadnya.
"Ah tidak kak, biasa ini hanya luka sedikit. Makanya telingaku jadi begini" Jawa menjawab dengan tenang. Dan kenghapus air matanya. Boleh jadi tangisnya tadi adalah ungkapan jiwanya yang memberontak karena kesakitan menahan hujaman besi panjang di telinganya.
Kisah itu baru dimulai. Baru bab awalnya saja.
***
"Aku pamit pergi, aku todak ingin bersama kalian lagi di keluarga pertiwi, setidaknya aku telah nyaman dengan mausia asingku, dan akan kujadikan budak para pribumi yang bodoh dan rakus itu, aku tak sudi memelohara manusia bodoh tak berguna" Papua melepas tali pengikat pertiwi detik itu juga.
Maka kini resmi papua, bukan lagi milik pertiwi. Seluruh anggota pertiwi mennagis sejadinya. Hujan seluruh nusantara. Tapi lihatlah di sana diujung sana terlihat papu sedang asyik berpesta minuman keras.
***
Bandarlampung, 10 februari 2017

2 komentar: